Rumah Adat Sunda

tempat tinggal masyarakat sunda jaman dulu.

Pusaka

alat bela diri khas sunda jaman dahulu sebelum kemerdekaan.

Wayang Golek

kesenian khas jawa barat yang menceritakan kehidupan rakyat sunda dan juga kritikan cerdas kepada pemerintahan.

Kesatria Pandawa

yang membela bumi amarta.

Tokoh Antagonis Buta

yang melakukan kejahatan tanpa pandang hulu tapi uang.

Jumat, 20 Mei 2016

kujang kembar

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgYbRR5wvX9M5h1i7ZkAPylyGwSt1UUwosQqBCKRfazcq5sJ5ONvacWak8Kwixr5UQ_9pyFVNB1vkhHBLKbWXVn8yNacFi2AF2JR23HB2idWwYmJaPafHoFugY2mCTwlk7xIS28mUuRoU/s1600/kujang.jpg 
alat ini digunakan sebagai alat bela diri masyarakat tanah pasundan, masyarakat sunda menyebut ini adalah kujang ( pusaka tertinggi di tanah pasundan tapi asal usul ada nya alat ini masih terus di teliti sampai sekarang



Selasa, 10 Mei 2016

sunda

    Salakanaga Menurut naskah “Pustaka Rayja-rayja I Bhumi Nusantara”, kerajaan di pulau Jawa adalah Salakanagara (artinya: negara perak). Salakanagara didirikan pada tahun 52 Saka (130/131 Masehi). Lokasi kerajaan tersebut dipercaya berada di Teluk Lada, kota Pandeglang, kota yang terkenal dengan hasil logamnya (Pandeglang dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata-kata panday dan geulang yang artinya pembuat gelang). 

    Dr. Edi S. Ekajati, sejarawan Sunda, memperkirakan bahwa letak ibukota kerajaan tersebut adalah yang menjadi kota Merak sekarang (merak dalam bahasa Sunda artinya "membuat perak"). Sebagain lagi memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di sekitar Gunung salak, berdasarkan pengucapan kata "Salaka" dan kata "Salak" yang hampir sama.

    Adalah sangat mungkin bahwa argyly atau Argyros pada ujung barat Iabadiou yang disebutkan Claudius Ptolemaeus Pelusiniensis Pletomy) dari Mesir (87-150 AD) dalam bukunya “Geographike Hypergesis” adalah Salakanagara.

    Suatu laporan dari Cina pada tahun 132 menyebutkan Pien, raja Ye-tiau, meminjamkan stempel mas dan pita ungu kepada Tiao-Pien. Kata Ye-tiau ditafsirkan oleh G. Ferrand, seorang sejarawan Perancis, sebagai Javadwipa dan Tiao-pien merujuk kepada Dewawarman.Kerajaan Salakanagara kemudian digantikan oleh kerajaan Tarumanagara.

    Kerajaan Tarumanagara adalah antara abad keempat dan ketujuh. Catatan sejarah dari kerajaan tersebut yang berupa prasasti bertebaran di bagian barat pulau Jawa. Pelancong dari Cina juga menyebutkan keberadaan dari kerajaan ini. Sumber-sumber sejarah tersebut sepakat bahwa raja Tarumanagara yang paling kuat adalah raja Purnawarman, yang menaklukkan negara-negara di sekitarnya.

  Kerajaan Sunda, yang disebut juga Kerajaan Sunda Galuh, adalah kerajaan yang pernah ada dan mencakup wilayah yang sekarang menjadi provinsi Jawa Barat, bagian barat provinsi Jawa timur dan provinsi Lampung.

   BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. 

   Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
   Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. 

   Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

   Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi  seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

   Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber-sumber Sejarah
   SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

   Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

   BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

   Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

  Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

  Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

   Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

   Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

   Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

   Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

  Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

   Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

   Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
   Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

   SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.




dewala

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIGSws1tZKIeuKGxOo1ecnPbm021-XXZ75Y_W-nuslpP5-JdGv_dapnWWOQ9pdHe9xDIyCRxgq8wc2EBbLoui_mGe3YxClvznK4_LV9ZAKGx3raL1VNx_rlaM-N1O3_JfrSHmuFNfNTDk/s320/dawala_2.jpg 

Dewala


     Dewala merupakan anak kedua dari semar dan sutiragen, iya merupakan sosok yang bijaksana tapi humoris akan tetapi asal usul dawala lahir masih misterius. dawala merupakan sosok masyarakat kecil tanah nusantara walaupun mempunya wajah dengan hidung panjang iya tidak berkecil hati tetap ramah kesesama.



cepot



http://rizki.staf.upi.edu/files/2015/07/2612234-si-cepot-wayang-golek-facebook-twitter.jpg 

Astrajingga ( Cepot )

    Cepot  yaitu anak pertama dari tiga bersaudara yang di lahirkan dari kedua orang tua yang bernama Semar badranaya ( ayah ) dan sutiragen ( ibu )
Nama cepot mengandung arti yaitu :
SASTRAJINGGA.
SASTRA : sebuah tulisan ( ungkapan manusia ) dan
JINGGA : Ya itu Merah atau dalam bahasa sunda di sebut ( beuerum )
Menurut cerita tatar sunda, cepot di lahirkan di sebuah gubuk ( saung ).

    Cepot yang terkenal humoris tidak pernah memandang dari kalangan manapun sekali pun dari kalangan bangsawan, sifat cepot akan tetap selalu menghibur orang-orang yang berada dekat dengan dia. Tergadang ada yang suka maupun ada yang tidak suka, cepot tetap sebagai seorang humoris dengan gaya dan cara bicaranya yang terkadang jika ada beberapa orang yang membuat dia kesal, cepot hanya tertawa sambil menasehati bahkan sering terlontar beberapa kritikan kepada orang tersebut, dengan tujuan dan niat baiknya.
Dalam cerita pewayangan, sosok cepot sering membawa senjata pamungkas nya yaitu sebuah golok ( bedog ) dan sebuah anak panah ( jamparing ) yang akan selalu ia bawa kemana pun dia pergi.
    Lawan musuh cepot juga di ceritakan dalam cerita pewayangan seperti sosok Denawa yaitu golek buta bahkan sampai mahluk raksasa yang berwujud aneh.
 
 
   Sosok cepot biasanya di keluarkan di dalam cerita pewayangan di pertengahan cerita, yang sering mendampingi para ksatria perang seperti arjuna,gatot kaca bahkan kastria madukara yang di ceritakan dalam wayang golek sebagai majikan cepot.
   Kehadiran cepot di tengah pertunjukan wayang golek sering di nanti-nanti oleh para penggemar nya, karena sosoknya yang humoris dan suka menghibur orang banyak.
   Kesimpulanya nama dan sosok cepot adalah sebuah watak yang keras kepala,bodoh menurut orang yang memandangnya sebelah mata, tetapi ilmu dan wawasanya sangat luas dan banyak mengandung arti tentang perjalanan hidup manusia.
  Itulah artikel tentang sosok cepot dalam dunia pewayangan yang sampai detik ini masih tersohor di seluruh pelosok Negeri nusantara.( indonesia )



Rabu, 16 Maret 2016

Bhatara Narada

     
 

Bhatara Narada

     Sanghyang Caturkaneka nyaéta baraya Sanghyang Tunggal sarta miboga putra anu ngaranna Sanghyang Kanekaputra. Sanghyang Kaneka putra miboga loba kaleuwihan diantara réncang-réncang sebayanya. Manéhna pohara pandai, ulet sarta miboga control emosi anu pohara alus, ku kituna sagala pasualan anu disanghareupanana sok bisa dipungkas kalayan alus sarta sirah tiis.
     Sipatna anu sok kabetot pikeun diajar sarta memperdalam naon anu geus dipibogana, ngajadikeun dirina Sanghyang anu cukup berilmu sarta rancagé dina ngajalanan kahirupan, pondok kecap dirina miboga pangabisa anu satingkat kalayan para resi sarta menterjemahkan kahirupan ieu.

    Hiji sabot bapana ngawariskeun pakarang sakti anu ngaranna Lingga Manik, kalayan diwariskeunna pakarang kasebut geus barang tangtu nyieun dirina beuki disegani ku saha ogé. Ngan waé kaayaan kawas éta henteu nyieun Sanghyang Kanekaputra sugema, komo dirina pohara terobsesi miboga pangabisa anu ngaleuwihan saha ogé. 

    Alatan ngabogaan kahayang pikeun ngaleuwihan pangabisa para déwa kabéhanana, mangka manéhna indit bertapa ditengah lautan kalayan menggenggam Lingga Manik pikeun nyampurnakeun pangabisana.

     Ayana saurang nonoman tampan anu ngalakonan tapa ditengah lautan sarta ditambah ku daya kakuatan Lingga Manik, nyieun Kahyangan jadi panas sarta gonjang-ganjing. Sanggeus ditempo ku Batara Guru ngaliwatan Kaca Trenggana tétéla hal ieu disebabkan ku Sanghyang Kanekaputra anu keur bertapa. Pikeun nungkulan hal kasebut Batara Guru ngutus para déwa dihandap lulugu Batara Indra pikeun ngageuingkeunana sarta ngabawa ka Kahyangan pikeun diadilan. 
    Para déwa usaha pikeun ngageuingkeun Sanghyang Kanekaputra sarta ménta pikeun daék dibawa ka Kahyangan sarta kudu tanggungjawab ka kaayaan anu lumangsung di Kahyangan waktu éta. Alatan Sanghyang Kanekaputra tetep kekeuh pikeun nuluykeun tapana, para déwa murka sarta maksa Kanekaputra pikeun milu. Ngan waé tétéla pangabisa Sanghyang Kanekaputra tétéla ngaleuwihan pangabisa sakumna déwa anu dating waktu éta

     Batara Indra kalayan sejata guludugna henteu sanggup mengalahkannnya, kitu ogé jeung Batara Brahma anu mecakan ngabeuleumna henteu junun, dituluykeun ku Batara Bayu anu ngaluarkeun angin puyuh / angin topan pikeun nyapu awak Sanghyang Kanekaputra masih ogé gagal. Batara Wisnu anu milu pikeun membujuk Sanghyang Kanekaputra mecakan pikeun ngéléhkeunana anu dipungkas kalayan penggunan pakarang Cakra Udaksana anu jadi andalan Batara Wisnu. Sajongjonan saméméh ngeunaan awakna Sanghyang Kanekaputra ngomong yén saéstuna Cakra Udaksana éta ngan bisa dikenakan ka jelema anu durjana, angkara murka sarta sok menyusahkan jelema loba. Tétéla kedalan éta nyieun Cakra Udaksana henteu daék nyieun luka Sanghyang Kanekaputra, kalahka ngiles balik ka Batara Wisnu.

      Batara Indra nyanghareup ka Batara Guru sarta memohon ampun alatan pancén anu diembannya gagal dilaksanakeun, ku kituna Batara Guru turun langsung menhadapi Sanghyang Kanekaputra. Awalna Batara Guru ngajak Sanghyang Kanekaputra pikeun henteu neruskeun tapanya, ngan waé Sanghyang Kanekaputra sok nampik komo ngajak Batara Guru berdebat ngeunaan masalah hirup sarta kahirupan. Dina perdebatan éta BataraGuru éléh nenggel sarta kudu ngaku yén Sanghyang Kanekaputra leuwih pandai, wijaksana sarta miboga wawasan anu leuwih lega batan dirina. Minangka pangawasa Kahnyangan rasa ego masih ngasalimutan rarasaan Sanghyang Manikmaya / Batar Guru, dirina ngarasa terhina sarta ambek alatan berdebat. Dina hiji kasempetan Batara Guru mengaluarkan ajian pamungkas anu disebut Kemayan,

      Waktu kena ajian kasebut Sanghyang Kanekaputra robah jadi burukrupa. Pamustunganana Sanghyang Kanekaputra daék milu ka Batara Guru, alatan ngarasa éléh ku Sanghyang Kanekaputra mangka Batara Guru ngagerona Kakang / Lanceuk minangka penghormatan sarta dijadikeunana penasihat Kahyangan, Sanghyang Kanekaputra saterusna ngagunakeun ngaran Batara Narada / Resi Narada. Sajongjonan saméméh indit ka Kahyangan waktu nyarita pahareup-hareup Batara Narada bersedekap jeung leungeun didina jubahnya, ku kituna lengan jubah anu dipaké melambai-lambai tertiup angin.

     Nempo hal kasebut Batara Guru bergumam dina dirina kawas jelema bertangan opat, waktu itupula kutukan anu kungsi diucapkan Sanghyang Tunggal jadi kanyataan leungeun Batara Guru nambahan ku kituna jadi opat. Sanajan hanjakal geus bergumam dina haté ngeunaan hal kasebut, kaayaan dirina henteu bisa robah balik. 




Sabtu, 20 Februari 2016

Batara Surya



BATARA SURYA
Lakon ini menceritakan yang Batara Surya yang bertempat tinggal di Kahyangan Ekacakra menerima dua bidadari kakak beradik sebagai istrinya yang bernama Dewi Ngruna dan Dewi Ngruni. Sementara putri Batara Wisnu yang bernama Dewi Kastapidalam perkimpoiannya dengan burung Brihawan membuahkan dua telur. Kemudian atasperintah Batara Guru, dua telur itu diberikan kepada Dewi Ngruna dan Ngruni.Telur milik Dewi Ngruna setelah dierami oleh seekor ular, menetas menjadi duaekor burung yang diberi nama Sempati dan yang muda diberi nama Jatayu.Sedangkan telur milik Dewi Ngruni menetas seekor ular besar yang diberi namaNaga Gombang, dan yang kecil diberi nama Sawer Wisa.
Anak-anak yang berupa burung dan ular itu ternyata sangat sulit untuk di awasi.Mereka semua nakal. Kedua bidadari itu lalu mengadakan teka-teki, barangsiapayang kalah akan menjaga anak-anak itu. Dewi Ngruni memberikan pertanyaan : “Apakahyang terlihat di sana itu? Sapi jantan atau sapi betina?”. Ternyata DewiNgruni tidak dapat menebaknya, dan ia merasa malu karena kebodohannya. Ketikaitu juga ular-ular datang dan membela ibunya dan segera menggigit kedua burung,dan sebaliknya burung-burung itu mematuk ular-ular sampai mati.
Karena marah oleh peristiwa itu, Dewi Ngruna mengutuk Ngruni. Katanya: “DindaNgruni bertindak seperti raseksi (raksasa wanita), jika akan menolonganak-anaknya”.
Seketika itu juga Dewi Ngruni berubah ujudnya menjadi raseksi, dan setelah iasadar apa yang terjadi ia segera lari menemui Batara Surya agar dapat mengatasimasalah yang dihadapinya itu. Atas saran suaminya, Dewi Ngruni diminta menemuiBatara Wisnu yang merupakan kakeknya dari telur-telur tadi, agar dapatmeruwatnya.
Setelah peristiwa itu Sempati yang disertai burung Jatayu pergi bertapa keGunung Windu, sedangkan ular-ular sangat terkejut melihat ibunya menjadiraseksi, mereka melarikan diri terjun ke samudera.
Sementara itu di kahyangan kehidupan para dewa tidak tentram karena menerimaancaman Prabu Sengkan Turunan dari Kerajaan Parangsari yang menginginkan DewiNgruna dan Ngruni untuk dijadikan permaisuri. Prabu Sengkan Turunan dengan balatentara raksasa menyerang Kahyangan Suralaya. Para dewa tidak dapat menandingikesaktian para raksasa itu.
Batara Wisnu menyatakan kepada Dewi Ngruni bahwa ia akan meruwatnya sehinggakembali pada ujud semula tetapi Dewi Ngruni harus menculik putri Prabu SengkanTurunan yang bernama Retna Jatawati.
Dibantu oleh garuda Jatayu, Dewi Ngruni akhirnya berhasil membawa DewiJatawati.
Sementara itu Jatayu juga berhasil menghancurkan para tentara raksasa. PrabuSengkan Turunan sangat marah setelah mengetahui bahwa pasukannya hancur, segeramenyerang Suralaya dengan membabi buta. Pertempuran seru terjadi dengandahsyatnya tetapi kemudian akhirnya ia dapat dikalahkan oleh burung Jatayu.
Batara Wisnu sangat gembira atas kemenangan Jatayu itu. Sebagai pernyataanterima kasih, Batara Wisnu kemudian menganugerahkan Retna Jatawati sebagi istri Jetayu.
           Sesuai dengan janjinya, Ngruni dirubah ujudnya menjadi bidadari yang cantikseperti semula dan tetap tinggal di Nguntarasegara. Setelah melihat istrinyamenjadi bidadari. Batara Surya membujuk untuk kembali ke pangkuannya, tetapiDewi Ngruni menolak. Baru setelah ada perintah dari Batara Guru, yang menjadipemuka para dewa, akhirnya Ngruni bersedia menjadi istri Batara Surya kembali.



Selasa, 26 Januari 2016




Dorna



 

Arya Bima



Kamis, 21 Januari 2016

gatot kaca











         Gatot kaca merupakan salah satu pandawa yang membela negara amarta pada lampau gatot kaca merupakan manusia biasa yang tidak punya kesaktian apa pun dan beliau juga merupakan putra arya bima ( salah satu orang yang berpengaruh di amarta.

          Gatot kaca dari kecil di didik oleh semar ( kasepuhan amarta) mengapa beliau mempunyai kesaktian yang luar biasa, kejadian yang itu setelah ada kerusuhan di alam dewa di perbuat oleh raja naga besar yang bernama Naga Percona, entah kenapa para dewa takut menghadapi naga tersebut.

          Sampai sampai para petinggi dewa tidak sanggup menghadapi naga tersebut karena kesaktian yang luar biasa dari naga itu, setelah tidak ada yang bisa di lakukan oleh para dewa maka pemimpin dewa yang bernama shanghyang tunggal mengutus kasepuhan dewa untuk turun kebumi amarta untuk minta bantuan kepada kakak nya yang bernama Semar Badranaya yang merupakan kasepuhan amarta untuk meminta nasehat dan solusi untuk melawan Naga Percona.
           Tak lama setelah itu dewa itu turun ke bumi amarta untuk bertemu dengan Semar Badranaya dan lama kemudian mereka bertemu dengan seorang anak kecil yang sedang di asuh oleh astrajingga ( cepot) anak Semar badranaya setelah itu, para dewa meminta untuk di antarkan ke rumah Semar dewa itu bilang ada keperluan yang sangat penting mendengar penjelasan yang ter bilang sangat penting itu bergegas lah untuk langsung pulang.
            Bertemu lah kasepuhan dewa dan kasepuhan amarta dengan kaget yang luar biasa dan tak basa basi kasepuhan dewa menjelaskan kejadian di alam dewa mendengar penjelasan tersebut. seorang anak kecil yang bernama Jabang Tutuka meng iya kan untuk ikut bertarung di medan perang para kasepuhan baik dari dewa maupun amarta kaget luar biasa kenapa anak tersebut.
saking penasaran beliau bertanya kepada semar siapa anak itu, semar menjawab dia merupakan anak dari Arya bima yang merupakan petinggi dari negara amarta,



Arjuna



  




Selasa, 19 Januari 2016

budak buncir


     Cerita wayang golek bahasa sunda, Budak Buncir - Dina hiji poé, Hyang nyarékan Pandawa yén éta Pandawa jeung Kurawa téh ti leuleutik hayoh wé silih arah pati, ti lelembur silih arah umur. Pan ceuk batur mah éta téh salah guruna, Hyang. Tah, solusina mah kieu wé, Pandawa jeung Kurawa wayahna kudu bébésanan. Gatotgaca urang tikahkeun jeung putri Astina, Déwi Lesmining Puri. Tapi tawaran ieu ditampik ku Gatotgaca. Saurna mah Gatotgaca téh can hoyong gaduh bojo, da can begér. Padahal umurna tos ±30 taun. Sabenerna mah Gatotgaca téh ngarasa paur, dibalik pajodoan ieu aya maksud anu lian ti Kurawa.
Ari Hyang jeung Pandawa keukeuh Gatotgaca kudu kawin.
    Puguh wé pakeukeuh-keukeuh. Terus Semar mamatahan Pandawa, tong sok mamaksa batur. Pék téh Semar diciduhan, terus ditajong. Daripada dipaksa kawin, Gatotgaca milih kabur. Hyang nitah Arjuna ngudag Gatotgaca, paksa kadieu deui.
Ahirna Gatotgaca kapanggih ku Arjuna. Arjuna jeung Gatotgaca duél. Arjuna éléh ku Gatotgaca. Gatotgaca kabur deui. Kaburna téh ka Partapan Tutugan Gunung Parasu. Sesepuh di partapan éta téh namina Merakgaca. Merakgaca mamatahan Gatotgaca yén ancurna hiji nagara téh kusabab budayana tos ancur. Jati kasilih ku junti. Jadi Aki Merakgaca ngadirikeun pasantrén supados nagara ieu teu ancur. Si Aki Merakgaca nyarios kitu kusabab ngira yén Gatotgaca badé néwak Aki gara-gara gaduh pasantrén. 
    Padahal mah Gatotgaca ka partapan Aki téh bade nyuhunkeun panarawangan, badé ngabuktikeun dugaan Gatotgaca yén aya maksud liana tina pajodoan Gatotgaca jeung Déwi Lesmining Puri. Pék téh bener, tina hasil panarawangan Aki Merakgaca, Gatotgaca téh sabenerna mah rék diracun ku Kurawa. “Tuh nya pan bener firasat téh”, ceuk Gatotgaca.

    Terus Gatotgaca naros ka si Aki, “Saha atuh pijodoeun Abdi téh Ki?”. Si Aki ngajawab yén jodo na Gatotgaca aya di Kidul, di nagri Tirta Dahana. Namina téh Déwi Dahana Wati, putrid Raja Dahana Déwa. Tah di nagri Tirta Dahana nuju diayakeun sayémbara, saha anu bisa ngéléhkeun jago sayémbara rék ditikahkeun jeung Déwi Dahana Wati. Jago sayémbarana téh Patih Nagara Tirta Dahana, namina Tirta Sakti. Tapi Gatotgaca ragu kénéh bener teu sih jodo Abdi téh éta. 
    Supaya bener-bener nguji kabeneranana, Gatotgaca di sulap ku Aki Merakgaca jadi pendék, hideung, hina, tapi jago kénéh gelutna, namina gé diganti jadi Budak Buncir.
    Teu lila, Cépot jeung Pétruk datang, néangan Gatotgaca. Tapi da Gatotgaca na tos robah rupa, jadi Cépot jeung Pétruk teu kenaleun. Terus si Aki ngabéjaan Cépot jeung Pétruk yén Gatotgaca keur di kidul, di nagri Tirta Dahana, sigana mah keur lalajo sayémbara anu diayakeun di Tirta Dahana. 
    Terus Cépot jeung Pétruk badé nyusul ka Tirta Dahana. “Engké heula, Aki badé nitipkeun putra Aki, ieu, si Budak Buncir. Hoyong lalajo sayémbara ceunah”. “Hayu atuh, asal tong ngérakeun”, ceuk si Cépot jeung Pétruk. Tiluan arangkat ka Tirta Dahana.



asepsunandar sunarya

 


    Materi dan ketenaran ia dapatkan dari hasil berjuang tanpa henti dengan menghadapi berbagai dinamika kehidupan yang sering kali tidak atau kurang menyenangkan. Sebelum suka datang, tentu duka menghampiri, bahkan seringkali suka dan duka menyatu dalam rentang panjang perjalanan seorang Asep.
Orang tidak banyak tahu bahwa perjalanan dalam profesinya sebagai dalang, demikian berliku. Tidak jarang, di awal kariernya Asep sering mendapatkan kritikan pedas dari berbagai kalangan, terutama dari sang ayah (Abah Sunarya).
“Setiap kali jika saya selesai pagelaran, Abah selalu mengatakan “goréng” (jelek) terhadap apa yang saya lakukan. Abah itu orang tua yang pelit sekali untuk tertawa, anehnya hanya ketika saya mendalang dengan lawakan, dan Abah menyaksikan, ia tertawa. Bagi saya sepedas apapun kritikannya, saya jadikan pupuk dan cambuk sehingga memacu kreativitas dan inovasi. Saya menjadi sekarang ini berkat adanya hari kemarin, ujar Asep.
     Lebih jauh Asep mengatakan: Kuring kudu ngahaturkeun nuhun ka sing saha waé anu geus ngritik, rék didasaran ku ngéwa atawa nya’ah, pék téh teuing. Sajaba ti éta, meureun perlu ogé kuring nendeskeun yén naon rupa kréativitas jeung inovasi anu ku kuring dilakukeun, dina raraga tarékah sangkan seni Sunda wayang golék anu mibanda ajén adi luhung, tetep bisa hirup disagala zaman, kaasup dijaman kiwari anu gening batan sakitu loba nilai seni katut budaya deungeun anu asup ka Indonésia pon kitu deui karasa ku urang Sunda. Atuh meureun mun wayang golék teu dimumulé kujalan inovasi mah tangtu baris kadéséh kubudaya deungeun téh.
     Nudipigusti ku Kuring mah ngan Gusti, lain pakem, lain wayang golék, lain tali paranti. Sapamanggih Kuring pakem wayang golek lain perkara anu statis komo kudu disakralkeun mah, lain! Ngan disisi séjén, kuring ogé kudu méré atawa nyadiakeun lolongkrang pikeun saha waé anu miboga pamadegan anu teu sajalan jeung pamanggih kuring, mangga téh teuing. Teu aya guna jeung manfaatna mutuskeun silaturahmi alatan pakem jeung hal séjén anu sifatna multitafsir. Naon anu dilakukeun ku Kuring, ngaropéa wayang golék ku jalan inovasi, lantaran Kuring yakin yén euyeub pisan niléi-niléi kamanusaan katut Katuhanan dina seni Sunda wayang golék. Kumangrupa anu mere aprésiasi kana naon anu ku Kuring dilakukeun, éta mah hak balaréa séwang-sewangan,da kuring mah darma diajar, atuh ngadalang gé darma diajar,” ungkapnya.
Selain si Cepot, wayang denawa atau raksasa juga dibuat sedemikian rupa, sehingga otak kepalanya bisa terburai berantakan ketika dihantam gada lawannya.

Dia dipuji dan juga dikritik dengan karya terobosannya itu. Namun, kritikan itu makin emacu semangat dan kreativitasnya. Keuletannya membuahkan hasil, namanya semakin populer. Terutama setelah Asep meraih juara dalang pinilih I Jawa Barat pada 1978 dan 1982. Kemudian paada 1985, ia meraih juara umum dalang tingkat Jawa Barat dan memboyong Bokor Kencana.

Pengakuan atas kehandalan dan kreativitasnya mendalang, bukan saja datang dari masyarakat Jawa Barat dan Indonesia, tetapi juga dari luar negeri. Dia pernah menjadi dosen luar biasa di Institut International De La Marionnete di Charleville Prancis. Dari institut itu dia mendapat gelar profesor.

Asep Sunarya lahir 3 September 1955 di Kampung Jelengkong, Kecamatan Baleendah, 25 km arah selatan Kota Bandung. Bernama kecil Sukana, anak ketujuh dari tiga belas bersaudara keluarga Abah Sunarya yang dikenal sebagai dalang legendaris di tanah Pasundan.

Sejak kecil, terutama sesudah remaja, ia sudah berambisi menjadi dalang. Makanya, setamat SMP, ia mengikuti pendidikan pedalangan di RRI Bandung. Meski ayahnya seorang dalang legendaris di kampungnya, Asep memilih belajar dalang dari Cecep Supriadi di Karawang.

Berbeda dengan pendahulunya yang mendalang tempat-tempat tertentu saja, Asep justru tekun mensosialisasikan wayang golek yang inovatif ke kampus-kampus, hotel-hotel, gedung-gedung mewah dan televisi. Upayanya membuahkan hasil. Wayang golek populer di berbagai tempat. Penampilannya yang selalu menarik perhatian mengundang decak kagum penonton baik anak muda maupun orang tua.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/798-dalang-wayang-golek-inovatif
Copyright © tokohindonesia.com
Selain si Cepot, wayang denawa atau raksasa juga dibuat sedemikian rupa, sehingga otak kepalanya bisa terburai berantakan ketika dihantam gada lawannya.

Dia dipuji dan juga dikritik dengan karya terobosannya itu. Namun, kritikan itu makin emacu semangat dan kreativitasnya. Keuletannya membuahkan hasil, namanya semakin populer. Terutama setelah Asep meraih juara dalang pinilih I Jawa Barat pada 1978 dan 1982. Kemudian paada 1985, ia meraih juara umum dalang tingkat Jawa Barat dan memboyong Bokor Kencana.

Pengakuan atas kehandalan dan kreativitasnya mendalang, bukan saja datang dari masyarakat Jawa Barat dan Indonesia, tetapi juga dari luar negeri. Dia pernah menjadi dosen luar biasa di Institut International De La Marionnete di Charleville Prancis. Dari institut itu dia mendapat gelar profesor.

Asep Sunarya lahir 3 September 1955 di Kampung Jelengkong, Kecamatan Baleendah, 25 km arah selatan Kota Bandung. Bernama kecil Sukana, anak ketujuh dari tiga belas bersaudara keluarga Abah Sunarya yang dikenal sebagai dalang legendaris di tanah Pasundan.

Sejak kecil, terutama sesudah remaja, ia sudah berambisi menjadi dalang. Makanya, setamat SMP, ia mengikuti pendidikan pedalangan di RRI Bandung. Meski ayahnya seorang dalang legendaris di kampungnya, Asep memilih belajar dalang dari Cecep Supriadi di Karawang.

Berbeda dengan pendahulunya yang mendalang tempat-tempat tertentu saja, Asep justru tekun mensosialisasikan wayang golek yang inovatif ke kampus-kampus, hotel-hotel, gedung-gedung mewah dan televisi. Upayanya membuahkan hasil. Wayang golek populer di berbagai tempat. Penampilannya yang selalu menarik perhatian mengundang decak kagum penonton baik anak muda maupun orang tua.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/798-dalang-wayang-golek-inovatif
Copyright © tokohindonesia.com
Asep Sunandar Sunarya Asep, yang lebih dikenal dengan panggilan Asep Sunarya, dalang wayang golek yang menciptakan si Cepot. Wayang yang rahang bawahnya bisa digerak-gerakkan jika berbicara, juga dapat merentangkan busur dan melepaskan anak panah, tanpa bantuan tangan dalang. Dengan karyanya itu, dia pantas disebut sebagai pendobrak j

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/798-dalang-wayang-golek-inovatif
Copyright © tokohindonesia.com



Semar Gugat




Lakon Semar gugat dibawakan oleh dua dalang Kondang Asep Sunandar Sunarya dari Dalang Wayang Golek Sunda bersama Dalang Wayang Kulit Jawa Top Ki Manteb (Oye) Sudarsono.





Isi Cerita : Amarta diguncang prahara bencana alam banjir bandang sehingga rakyatnya sangat menderita namun ini juga merupakan kritik bagi pemerintah dimana rakyat menderita sementara para pemimpin berlaku tidak adil terhadap rakyatnya dimana agama sebagai alat adu domba,korupsi merajalela,wakil2 rakyat berfoya-foya’

Untuk itulah Semar Menggugat para pemimpin bangsa untuk membantu rakyat,untuk memikirkan persatuan bangsanya bukan mementingkan kekuasaan,tetapi pikirkanlah rakyat

    Namun yang diharapkan Semar ternyata tidak dapat terlaksana karena Semar Menggugat ke Astina,dimana para pejabatnya ternyata malah merasa senang dengan Bencana yang menimpa Amarta.dimana rasa sosialisme memang sudah tidak ada lagi di Astina,dimana justru memanfaatkan bencana alam itu untuk memenangkan kekuasaan.

     Sebagai gambaran hilangnya Nasionalisme dan Sosialisme Bangsa,dimana para pemimpinnya hanya memikirkan uang uang dan uang untuk keluarganya sehingga tanpa malu malu memamerkan kekayaan hasil korupsinya ditengah rakyat yang menderita.

    Wakil rakyat tidak pernah berjuang membela rakyat ,malah bertengkar dalam sidang dengan otot bukan dengan otak karena otaknya hanya terpikirkan komisi yang bakal diterimanya bila menyetujui undang undang yang tidak pernah dibuatnya sendiri.

     Wakil rakyat yang menerima berbagai fasilitas negara,mendapat gajih yang sangat tinggi disamping berbagai tunjangan pribadi,masih juga menerima komisi walaupun kerjanya hanya tidur dikursi dan terlelap dalam mimpi.

  Pejabat yang sikapnya selalu hebat namun dibuat buat,kalau janji enggak pernah tepat,walau sebenarnya tak pernah berbuat untuk rakyat karna sesungguhnya dia hanyalah penjahat yang mengembat uang negara ya uang rakyat



kurawa


Raja Alengka( KURAWA)


Komandan Kurawa



Perajurit Kurawa


Komandan tertinggi




Pembuatan wayang golek



Contoh bentuk wayang yang sudah jadi

     Proses pembuatan sebuah wayang golek terhitung rumit. Langkah pertama yaitu, mengukir bentuk wajah. Detail wajah, mulai dari lekukan hidung, mata, hingga hiasan dibuat sedemikian halus. Proses pewarnaannya pun menggunakan beberapa kuas. Untuk beberapa detail seperti riasan kelopak mata perlu kuas yang kecil agar hasilnya sempurna. 



Jumat, 15 Januari 2016

Asep Sunandar S



Asep sunandar sunarya lahir pada tanggal 3 september tahun 1955 di kampung jelekong kecamatan bale endah kabupaten bandung dan beliau mempunyai panggilan kecil yaitu



Ade Kosasih

 

      Ade kosasih sunarya merupakan dalang kondang yang mengenalkan kesenian sunda khususnya dalam seni wayang golek beliau lahir di bandung tanggal 2 januari 1920



Pewayangan



Batara Guru/ Raja Triloka( Raja Alam Semesta)



Alat musik sunda

Hasil gambar untuk karawitan sunda
Alat musik tradisional sunda

Alat musik ini biasa di gunakan di berbagai acara baik itu acara pernikahan, selamatan rumah, khitanan maupun sebagai penyambut tamu yang berkunjung ke kerajaan sunda pada tempo dulu