Salakanaga Menurut naskah “Pustaka Rayja-rayja I Bhumi Nusantara”, kerajaan di
pulau Jawa adalah Salakanagara (artinya: negara perak). Salakanagara
didirikan pada tahun 52 Saka (130/131 Masehi). Lokasi kerajaan tersebut
dipercaya berada di Teluk Lada, kota Pandeglang,
kota yang terkenal dengan hasil logamnya (Pandeglang dalam bahasa Sunda
merupakan singkatan dari kata-kata panday dan geulang yang artinya
pembuat gelang).
Dr. Edi S. Ekajati, sejarawan Sunda, memperkirakan
bahwa letak ibukota kerajaan tersebut adalah yang menjadi kota Merak
sekarang (merak dalam bahasa Sunda artinya "membuat perak"). Sebagain
lagi memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di sekitar Gunung salak, berdasarkan pengucapan kata "Salaka" dan kata "Salak" yang hampir sama.
Adalah sangat mungkin bahwa argyly atau Argyros pada ujung barat Iabadiou yang disebutkan Claudius Ptolemaeus Pelusiniensis Pletomy
) dari Mesir (87-150 AD) dalam bukunya “Geographike Hypergesis” adalah Salakanagara.
Suatu laporan dari Cina pada tahun 132 menyebutkan Pien, raja
Ye-tiau, meminjamkan stempel mas dan pita ungu kepada Tiao-Pien. Kata
Ye-tiau ditafsirkan oleh G. Ferrand, seorang sejarawan Perancis, sebagai
Javadwipa dan Tiao-pien merujuk kepada Dewawarman.Kerajaan Salakanagara kemudian digantikan oleh kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Tarumanagara adalah antara abad keempat dan ketujuh. Catatan
sejarah dari kerajaan tersebut yang berupa prasasti bertebaran di bagian
barat pulau Jawa. Pelancong dari Cina juga menyebutkan keberadaan dari
kerajaan ini. Sumber-sumber sejarah tersebut sepakat bahwa raja
Tarumanagara yang paling kuat adalah raja Purnawarman, yang menaklukkan
negara-negara di sekitarnya.
Kerajaan Sunda, yang disebut juga Kerajaan Sunda Galuh, adalah kerajaan
yang pernah ada dan mencakup wilayah yang sekarang menjadi provinsi Jawa Barat, bagian barat provinsi Jawa timur dan provinsi Lampung.
BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah
Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi
Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh
penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut.
Menurut
sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama
penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja
Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu
Kian Santang.
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang
meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya
keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan
kepada mereka.
Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah
nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan
dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita
babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor
sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam
proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor
lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh
tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya
mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau
juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis
sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat
membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba
merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.
Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan
ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan,
fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah
Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan
sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang
sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat
memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang
sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber-sumber Sejarah
SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai
bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan.
Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak
(bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar
dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya
tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita
tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan
lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak
yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah
tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan
Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah
Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara
naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui
proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik)
seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok
pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah
Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi
(Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh
Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura
(Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan
naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam
atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran
fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya
merupakan tulisan tangan.
BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa
Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh
utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan
keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja)
raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan
keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian
Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan
keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri
merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan
kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian
Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan
Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar
Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum
menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau
Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih
(Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh
Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa
Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih
dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang
Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin
atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal
di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan).
Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada
ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti
Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi
nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan
lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian
setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati
(Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok
pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh
Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab
Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga
pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah
Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan,
Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang
termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).
Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah,
maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya
Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada
agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk
tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan
bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta
izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi
raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya
Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara
Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan
Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang
menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru
kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia
bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi
(Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang
Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di
daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan
Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849
Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama
Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau
bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang
kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian
penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk
dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman
baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh
Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir
Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai
suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348
jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196
orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2
orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6
orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah
Islam.
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran
Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian
ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya
rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan
didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih
terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan;
Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara
Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang
kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang
bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir
pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan
keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas
kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai
menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah
Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im.
Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana
dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi
mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf
kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di
Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab
Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.
Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon,
kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki
Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi
pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi,
Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di
Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir
Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana
membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton
tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti
berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran.
Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut
diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga
Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia
mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau
tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa
Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah
Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji
Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian
Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan
demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya
berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan
salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam
cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda,
terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan
pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang
terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang
sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian
pedalaman.